Sabtu, 02 Oktober 2010

keheningan.

Mencintaimu bagai berlari di padang rumput tak tentu arah, sejauh mata memandang hanyalah hamparan rumput hijau, berlari tiada henti, hasilnya tetap sama, ku berlari dan berhenti di tempat yang sama. Semua hanyalah pengulangan. Angin tak memberiku petunjuk, berlalu dan meninggalkanku dibelakang. Berlari sendirian itu melelahkan tiada hasil. Kau tak kunjung disana berdiri menantiku. Kosong. Hampa. Entah mengapa aku tetap belari ke arah seharusnya kau berada. Dikejauhan aku melihat dirimu dengan senyum mengembang di wajahmu. Indah. Aku berlari mempercepat langkah walau kakiku terlalu lelah. Dan kau hilang bagai oasis di padang pasir. Hanya fatamorgana. Apa mencintaimu hanya sebuah fatamorgana ? Tidak. Mencintaimu adalah hal yang paling memungkinkan di dunia yang bisu ini. Aku rindu senyummu. Tapi senyummu lenyap tanpa jejak, membuat candu di dada. Aku mau senyum itu. Laksana heroin yang kubutuhkan. Aku butuh senyum itu bagai air saat kemarau. Rindu di dada takkan lenyap. Hati semakin sunyi. Ilalang menggelitik, membuat aku tetap sadar akan realita. Semangatku terbakar lalu menguap. Aku lelah. Apa mencintaimu hanya sekedar mimpi ? apa harapanku terlalu besar ? Aku hanya seseorang yang mencintaimu sepenuh hati. Seseorang yang mengejarmu tiada henti, yang merindukanmu dalam keheningan. Tapi kata cinta terasa pilu dikecap oleh lidah. Kelu. Kata cinta bagai racun yang menggerogoti hati. Karna ketika kata cinta itu tak terbalas, hanya akan mendatangkan sakit menggores luka dihati. Biarlah sakit ini tetap di hati. Mengenalmu sudah cukup. Saat berhenti berlari. Diam, dan terduduk menangis. Diam . . . Diam . . . Aku terdiam . . . Mengingat kembali bagaimana senyummu, tawamu, dan kasihmu. Butiran air mata tak berhenti mengalir. Apakah mencintaimu sesakit ini ? Kupejamkan mata, meratapi kesunyian hati. Angin berbisik pelan tak bergairah. Hangatnya mentari hilang ketika aku memutuskan untuk terdiam dalam keheningan akut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar