Dia melangkah pergi
Meniggalkan sejuta kegundahan di hati
Hari ini hujan turun lagi, segera kudekap selimut tipis yang memberiku kehangatan, kutiup pelan2 coklat hangat di gengamanku. Asapnya mengepul, ku seruput pelan pelan, rasanya kental dan manis. Cocok buat cuaca hari ini. Ku pandangi jendela kamarku, tidak ada kegiatan hari ini. Kumainkan jari jariku di dekat jendela kayu, tak berpengaruh. Rasa bosan melandaku. Seharusnya ada seseorang yang menemaniku disini, ya seharusnya ada.
Pikiranku kembali melayang ke kejadian 2 tahun yang lalu. Hari itu, langit berawan menutupi langit seantero jakarta. Dengan cemas aku menatap jalan yang terbentang di depan, tersendat. Kulirik jam tanganku dengan cemas, waktu berjalan tanpa kompromi. Mataku tiba2 terasa hangat. Sekuat tenaga aku berusaha menahan air mata untuk tidak jatuh. Ku genggam kuat kuat handphoneku, aku putus asa. Melihat pesawat terbang di langit membuat kupu2 di perutku terus berterbangan. Kumohon, tunggu aku. Mobilku terhenti di pelataran bandara soekarno hatta. Cepat2 aku membuka pintu tanpa menunggu mama ataupun papa. Yang kupikirkan sekarang ini hanyalah dia. Aku berlari tanpa arah, hanya mengandalkan petunjuk seadanya. Langkahku terhenti saat melihat sosok yang sangat aku kenali, itu dia. Disana. Bergantian berpelukan dengan kedua orang tuanya, di sampingnya bersandarkan koper kecil. Kak jeremy ada disana. Ku usap mataku. Ku tahan cairan hangat yang tak henti2nya menggenangi mataku. Ku ambil nafas pelan-pelan. Lalu berjalan pelan menghampirinya. Sosok itu mengamatiku, mukanya terkejut. Siapa sangka aku ada disini ? Dia terdiam tak bergerak, kupandangi yang lain, kak jeremy melemparkan senyumnya yang khas kepadaku, tante hana tersenyum simpul di hiasi sisa sisa air mata di pipinya, om arman memandangku lalu tersenyum. Aku membalas senyum mereka, senyumku lemah. Kaki kakiku makin lemas, ingin rasanya aku berlari lalu memeluknya tapi aku tak bisa. Langkahku terhenti tepat di depannya. Ku tundukkan wajahku, takut takut air mataku terjatuh. Disanalah dia mengusap kepalaku dengan kasih sayangnya. Di angkatnya daguku, air mataku menggenang melihat sepasang mata hangatnya. Saat ini aku sedang sangat tidak ingin menangis. Tapi air mataku berkata lain, perlahan satu tetes jatuh disusul dengan puluhan tetes lainnya. Dia hanya tersenyum tak berhenti mengelus kepalaku.
"Dasar cengeng. Kalo ga kuat makanya ga usah nganterin gue"
"Lo bilang kita sahabat, lo bilang kita selalu sama-sama. Sekarang lo pergi tanpa pamit sama gu..e" suaraku bergetar serak
"Kita akan selalu sama-sama kok. But, this is what I want, you know that." Di hapusnya air mataku dengan kedua ibu jarinya "jangan nangis, katanya jagoan"
"Ill miss you so bad, bi"
"Me too. Take care yourself. Sampe gue balik nih ke jakarta 4 tahun lagi, lo harus bisa wajib kudu manggil gue rabby bukan ba-bi ba-bi aja!" Rabby memaksakan tawanya, lalu memberiku pelukan cepat, terlalu cepat untuk 4 tahun kedepan.
"Well, I gotta go now. Remember my advices."
"Kirimin aku email kalo kamu udah sampe disana"
"Pasti."
Rabby memeluk keluarganya satu persatu, menyeret kopernya, lalu pergi tanpa pernah lagi menoleh melihatku yang mulai menangis terisak karna sangat teramat berharap melihat wajahnya untuk terakhir kali.
Hari itu, tidak ada satupun email yang masuk.
Seharusnya, seharusnya ending kejadian tadi seharusnya seperti di film-film romantis, di novel-novel cinta dimana kejadian ini seharusnya Rabby ga jadi berangkat. Atau menoleh sedikit ke arahku. Atau dimana rabby lari-lari ga jadi berangkat atau hanya sekedar memeberi pelukan kilat. Tapi itu ga terjadi sama sekali. Rabby tetap pergi tanpa menoleh tanpa kabar selama 2 tahun terakhir ini.